Definisi Sedekah dan Uang Haram
Sedekah adalah pemberian atau infak yang diberikan kepada orang yang membutuhkan dengan niat ibadah dan mendapatkan pahala dari Allah. Sedekah tidak terbatas pada harta saja, tetapi juga bisa berupa waktu, tenaga, atau ilmu.
Uang haram, di sisi lain, adalah uang yang diperoleh dari sumber yang tidak diperbolehkan dalam Islam. Ini termasuk hasil dari riba, perjudian, korupsi, atau bisnis yang melibatkan barang haram seperti alkohol atau daging babi.
Allah Hanya Menerima yang Baik
Pertama, perlu kita ingat bahwa Allah Subahanahu wa Ta’ala mengajarkan kebaikan dan kemuliaan, kebenaran dan kesucian. Allah Maha Baik dan tidak akan menerima kecuali yang baik.
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا
Wahai manusia, sesungguhnya Allah itu Maha Baik. Allah tidak akan menerima sesuatu melainkan dari yang baik. (HR. Muslim)
Hadits ini menjelaskan tertolaknya zakat dari harta haram. Demikian pula Allah menolak sedekah dengan uang haram. Allah hanya menerima zakat dan sedekah dengan uang halal.
Harta haram di sini meliputi dua hal. Haram dzatnya dan haram memperolehnya. Harta yang haram dzatnya misalnya daging babi atau minuman keras, haram pula mensedekahkannya.
Sedangkan harta yang haram dari cara memperolehnya misalnya hasil mencuri, hasil berjudi, hasil korupsi, hasil menipu, dan sebagainya. Selain haram memakan atau menggunakan harta dan uang tersebut, haram pula bersedekah dengannya.
لاَ تُقْبَلُ صَلاَةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلاَ صَدَقَةٌ مِنْ غُلُولٍ
Tidaklah diterima shalat tanpa bersuci, tidak pula sedekah dari ghulul (harta haram). (HR. Muslim)
Baca juga: Apakah Kehilangan Uang Termasuk Sedekah
Hukum Mengambil Bunga Bank
Ulama sepakat bahwa bunga bank sejatinya adalah riba. Hanya saja mereka berbeda pendapat tentang hukum mengambil bunga tabungan di bank, untuk kemudian disalurkan ke berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan.
Pendapat pertama, bunga bank wajib ditinggal dan sama sekali tidak boleh diambil. Di antara ulama yang menguatkan pendapat ini adalah Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin. Sebagaimana keterangan dalam banyak risalah beliau.
Suatu ketika Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin dalam Liqo’ Al Bab Al Maftuh, 109/9. Ada yang menanyakan pada beliau rahimahullah:
“Bagaimana pendapatmu mengenai penghasilan seseorang dari amal ribawi baik melalui bank ribawi atau dari beberapa serikat? Lalu bagaimana cara membebaskan diri dari riba semacam ini? Apakah boleh hasil riba tersebut diberikan pada berbagai amalan kebaikan seperti pembangunan masjid dan semacamnya atau untuk melunasi utang pada sebagian kaum muslimin, memberikan pada kerabat yang membutuhkan atau mungkin harta riba semacam ini dibiarkan begitu saja, tidak diambil sedikit pun? Jazakumullah khoiron.
Beliau rahimahullah menjawab: Adapun jika harta riba tersebut belum diambil, maka harta tersebut tidak halal untuk diambil dan harta riba tadi harus dibiarkan begitu saja. Karena Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَذَرُواْ مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut).” (QS. Al Baqarah: 278).
Maksudnya adalah tinggalkan sisa riba tersebut. … Siapa saja yang telah melakukan amalan ribawi, lalu dia tidak mengambil riba tersebut, maka dia wajib meninggalkan riba tersebut kemudian bertaubat pada Allah ‘azza wa jalla. Adapun jika seseorang telah mengambil riba tersebut karena tidak tahu bahwa itu riba dan tidak tahu bahwa riba itu haram, maka taubat akan menutupi kesalahan sebelumnya dan riba tersebut (sebelum datang larangan) telah menjadi miliknya. Hal ini berdasarkan firman Allah,
فَمَن جَاءهُ مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِ فَانتَهَىَ فَلَهُ مَا سَلَفَ
“Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan).” (QS. Al Baqarah: 275)
Adapun jika seseorang telah mengambil riba tersebut dan dia mengetahui bahwa riba tersebut haram, namun dia adalah orang yang lemah dalam hutang, sedikit ilmu, maka dia boleh bersedekah dengan riba tersebut. Bisa saja dia manfaatkan untuk membangun masjid, juga jika dia orang yang tidak mampu lunasi hutangnya, boleh untuk melunasi hutangnya, jika mau, boleh juga diserahkan pada kerabatnya yang membutuhkan. Ini semua adalah baik.
Pendapat kedua, dibolehkan mengambil bunga bank, untuk disalurkan ke kegiatan sosial kemasyarakatan. Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah Syaikh Ibnu Jibrin, ketika ditanya tentang hukum menyalurkan bunga bank untuk para mujahid. Setelah menjelaskan larangan menabung di bank kecuali darurat, beliau menegaskan,
“….dia boleh mengambil keuntungan yang diberikan oleh bank, semacam bunga, namun jangan dimasukkan dan disimpan sebagai hartanya. Akan tetapi dia salurkan untuk kegiatan sosial, seperti diberikan kepada fakir miskin, mujahid, dan semacamnya. Tindakan ini lebih baik dari pada meninggalkannya di bank, yang nantinya akan dimanfaatkan untuk membangun gereja, menyokong misi kekafiran, dan menghalangi dakwah Islam…” (Fatawa Islamiyah, 2:884)
Bahkan Syaikh Muhammad Ali Farkus dalam keterangannya menjelaskan, “Bunga yang diberikan bank, statusnya haram. Boleh disalurkan untuk kemaslahatan umum kaum muslimin dengan niat sedekah atas nama orang yang dizalimi (baca: nasabah). Demikian juga boleh disalurkan untuk semua kegiatan yang bermanfaat bagi kaum muslimin, termasuk diberikan kepada fakir miskin.
Karena semua harta haram, jika tidak diketahui siapa pemiliknya atau keluarga pemiliknya maka hukum harta ini menjadi milik umum, dimana setiap orang berhak mendapatkannya, sehingga digunakan untuk kepentingan umum. Allahu a’lam.
Hukum Sedekah dengan Uang Haram
Salah satu prinsip penting dalam Islam adalah bahwa amal perbuatan harus dilakukan dengan cara yang baik dan dengan sumber yang halal. Dalam konteks sedekah, menggunakan uang haram tidak sesuai dengan prinsip ini.
Dalil dari Al-Qur’an dan Hadis:
Hanya Diterima yang Halal
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah itu thoyyib (baik). Allah tidak akan menerima sesuatu melainkan dari yang thoyyib (baik).“ (HR. Muslim no. 1015). Yang dimaksud dengan Allah tidak menerima selain dari yang thoyyib (baik) telah disebutkan maknanya dalam hadits tentang sedekah. Juga dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَتَصَدَّقُ أَحَدٌ بِتَمْرَةٍ مِنْ كَسْبٍ طَيِّبٍ إِلاَّ أَخَذَهَا اللَّهُ بِيَمِينِهِ فَيُرَبِّيهَا كَمَا يُرَبِّى أَحَدُكُمْ فَلُوَّهُ أَوْ قَلُوصَهُ حَتَّى تَكُونَ مِثْلَ الْجَبَلِ أَوْ أَعْظَمَ
“Tidaklah seseorang bersedekah dengan sebutir kurma dari hasil kerjanya yang halal melainkan Allah akan mengambil sedekah tersebut dengan tangan kanan-Nya lalu Dia membesarkannya sebagaimana ia membesarkan anak kuda atau anak unta betinanya hingga sampai semisal gunung atau lebih besar dari itu” (HR. Muslim no. 1014).
Halal Mempengaruhi Amalan Sholih
Ibnu Rajab dalam Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam (1: 260) berkata, “Dalam hadits ‘Allah tidaklah menerima selain dari yang halal’ terdapat isyarat bahwa amal tidaklah diterima kecuali dengan memakan yang halal. Sedangkan memakan yang haram dapat merusak amal dan membuatnya tidak diterima.” Oleh karena itu, setelah mengatakan Allah tidak menerima melainkan dari yang halal, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membawakan ayat yang berisi perintah yang sama pada para Rasul dan orang beriman,
يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّى بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
“Wahai para Rasul! Makanlah makanan yang baik-baik (halal) dan kerjakanlah amal shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Al Mu’minun: 51).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah rezeki yang baik-baik yang telah kami rezekikan kepadamu.’” (QS. Al Baqarah: 172).
Yang dimaksud dengan ayat tersebut, para Rasul dan umat mereka diperintahkan untuk mengkonsumsi yang halal dan diperintahkan pula untuk beramal sholih. Jika yang dikonsumsi adalah yang halal, maka amalan sholihnya diterima. Jika yang dikonsumsi adalah yang haram, maka bagaimana bisa diterima? Karenanya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah di atas menceritakan tentang seorang laki-laki yang telah menempuh perjalanan jauh, sehingga rambutnya kusut, masai dan berdebu. Orang itu mengangkat tangannya ke langit seraya berdo’a,
يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِىَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ
“Wahai Rabbku, wahai Rabbku.” Padahal, makanannya dari barang yang haram, minumannya dari yang haram, pakaiannya dari yang haram dan diberi makan dari yang haram, maka bagaimanakah Allah akan memperkenankan do’anya?“ (HR. Muslim no. 1014)
Dijelaskan pula oleh Syaikh Sholih Al Fauzan hafizhohullah, anggota Al Lajnah Ad Daimah (komisi fatwa di Saudi Arabia) ketika menjelaskan hadits ‘Allah hanya menerima dari yang halal’ bahwa memakan makanan yang halal bisa menolong dalam melakukan ketaatan pada Allah karena beramal sholih diperintahkan setelah perintah memakan makanan yang halal. Jadi, semakin baik makanan yang kita konsumsi, semakin mudah pula kita dalam beramal. Lihat Al Minhah Ar Robbaniyyah Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, hal. 137. Juga lihat bahasan Syaikh Sholih Alu Syaikh dalam Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, hal. 163.
Hukum Sedekah Uang Riba /Bunga Bank Untuk Masjid?
Dengan mengambil pendapat ulama yang membolehkan mengambil riba di bank, pertanyaan selanjutnya, bolehkan menyalurkan riba tersebut untuk kegiatan sosial keagamaan, seperti membangun masjid, pesantren atau kegiatan dakwah lainnya?
Baca Juga : Cara menghitung zakat mal yang praktis
Pendapat pertama, tidak boleh menggunakan uang riba untuk kegiatan keagamaan. Uang riba hanya boleh disalurkan untuk fasilitas umum atau diberikan kepada fakir miskin. Pedapat ini dipilih oleh Lajnah Daimah (Komite tetap untuk fatwa dan penelitian) Arab Saudi. Sebagaimana dinyatakan dalam fatwa no. 16576.
Pendapat ini juga difatwakan Penasihat Syariah Baitut Tamwil (Lembaga Keuangan) Kuwait. Dalam fatwanya no. 42. Mereka beralasan mendirikan masjid harus bersumber dari harta yang suci. Sementara harta riba statusnya haram.
Pendapat kedua, boleh menggunakan bunga bank untuk membangun masjid. Karena bunga bank bisa dimanfaatkan oleh semua masyarakat. Jika boleh digunakan untuk kepentingan umum, tentu saja untuk kepentingan keagamaan tidak jadi masalah. Di antara ulama yang menguatkan pendapat ini adalah Syaikh Abdullah bin Jibrin. Sebagaimana dikutip dalam Fatawa Islamiyah, 2:885
Perlu diperhatikan bahwa bunga bank yang ada di rekening nasabah, sama sekali bukan hartanya. Karena itu, dia tidak boleh menggunakan uang tersebut, yang manfaatnya kembali kepada dirinya, apapun bentuknya. Bahkan walaupun berupa pujian. Oleh sebab itu, ketika Anda hendak menyalurkan harta riba, pastikan bahwa Anda tidak akan mendapatkan pujian dari tindakan itu. Mungkin bisa Anda serahkan secara diam-diam, atau Anda jelaskan bahwa itu bukan uang Anda, atau itu uang riba, sehingga penerima yakin bahwa itu bukan amal baik Anda.
Dapat disimpulkan bahwa bunga bank itu riba dan hukumnya haram, sehingga itu bukan hak kita dan tidak boleh kita konsumsi. Adapun jika diambil untuk disedekahkan boleh. Hanya saja harta riba itu akan dimanfaatkan untuk fasilitas umum yang bisa digunakan oleh banyak orang. Hukum sedekah uang riba juga pernah dibahas juga oleh ustad Abdul shomad:
“Riba itu haram, kotor sehingga seseorang tidak bisa mencuci pakaian najis menggunakan air kencing yang najis agar pakaian tersebut menjadi suci. Yang dapat digunakan untuk mensucikan pakaian najis hanyalah air yang dapat mensucikan.”
Uang haram dipakai untuk ibadah haji, maka hajinya tidak diterima oleh Allah SWT dan tidak akan pernah menjadi haji yang mabrur.
“Islam mengajarkan bersih awalnya, bersih tengahnya, bersih ujungnya,” jelas Ustadz Abdul Somad.
Dengan demikian tidak ada lagi alasan seseorang sengaja menghasilkan uang haram untuk niat sedekah di jalan Allah, karena Allah tidak akan menerimanya.
Baca Juga: Cara menghitung zakat penghasilan
https://konsultasisyariah.com/ dan rumaysho.com
Haji dan Shalat dengan Harta Haram
Dari pembahasan ini, para ulama memiliki bahasan apakah shalat di tanah rampasan itu sah ataukah tidak. Imam Ahmad berpendapat tidak sahnya. Sedangkan jumhur (mayoritas) ulama berpendapat sahnya tetapi berdosa.
Begitu pula para ulama membahas bagaimana jika ada yang berhaji dengan harta haram, sahkah hajinya? Imam Ahmad memiliki dua pendapat dalam masalah ini, namun yang masyhur, hajinya tidak sah. Landasannya adalah hadits yang mengatakan bahwa Allah hanya menerima dari yang thoyyib. Sedangkan jumhur ulama berpendapat sahnya haji dengan harta haram, namun hajinya tidak mabrur. Sehingga wajib bagi yang ingin melaksanakan haj memperhatikan harta yang ia gunakan.
Kita dapat mengambil pelajaran pula bahwa Allah hanyalah menerima dari yang bertakwa, di antara bentuk takwa adalah menjaga diri dari penghasilan haram. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ
“Allah hanya menerima dari orang yang bertakwa” (QS. Al Maidah: 27). Imam Ahmad pernah ditanya oleh seseorang mengenai makna ‘muttaqin’ (orang yang bertakwa) dalam ayat tersebut dan beliau menjawab bahwa yang dimaksud adalah menjaga diri dari sesuatu yang tidak halal yang masuk ke dalam perut. Demikian dinukil dari Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1: 262. Lihat pula pembahasan Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Ath Thorifi dalam Shifat Hajjatin Nabi, hal. 39-40 dan Syaikh Sa’ad Asy Syatsri dalam Syarh Al Arba’in, hal. 92.
Dalam konteks Islam, sedekah adalah tindakan mulia yang sangat dianjurkan dan memiliki banyak keutamaan. Namun, pertanyaan yang sering muncul adalah bagaimana hukum sedekah jika dilakukan dengan uang yang diperoleh secara haram? Artikel ini akan membahas secara mendalam mengenai hukum sedekah dengan uang haram, dengan merujuk pada dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Hadis serta pandangan para ulama.
Konsekuensi dari Sedekah dengan Uang Haram
Melakukan sedekah dengan uang yang diperoleh secara haram memiliki beberapa konsekuensi serius:
Sedekah dengan Harta Haram
Mengenai sedekah dengan harta haram, maka bisa ditinjau dari tiga macam harta haram berikut:
1- Harta yang haram secara zatnya. Contoh: khomr, babi, benda najis. Harta seperti ini tidak diterima sedekahnya dan wajib mengembalikan harta tersebut kepada pemiliknya atau dimusnahkan.
2- Harta yang haram karena berkaitan dengan hak orang lain. Contoh: HP curian, mobil curian. Sedekah harta semacam ini tidak diterima dan harta tersebut wajib dikembalikan kepada pemilik sebenarnya.
3- Harta yang haram karena pekerjaannya. Contoh: harta riba, harta dari hasil dagangan barang haram. Sedekah dari harta jenis ketiga ini juga tidak diterima dan wajib membersihkan harta haram semacam itu. Namun apakah pencucian harta seperti ini disebut sedekah? Para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. Intinya, jika dinamakan sedekah, tetap tidak diterima karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تُقْبَلُ صَلاَةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلاَ صَدَقَةٌ مِنْ غُلُولٍ
“Tidaklah diterima shalat tanpa bersuci, tidak pula sedekah dari ghulul (harta haram)” (HR. Muslim no. 224). Ghulul yang dimaksud di sini adalah harta yang berkaitan dengan hak orang lain seperti harta curian. Sedekah tersebut juga tidak diterima karena alasan dalil lainnya yang telah disebutkan, “Tidaklah seseorang bersedekah dengan sebutir kurma dari hasil kerjanya yang halal melainkan Allah akan mengambil sedekah tersebut dengan tangan kanan-Nya lalu Dia membesarkannya sebagaimana ia membesarkan anak kuda atau anak unta betinanya hingga sampai semisal gunung atau lebih besar dari itu” (HR. Muslim no. 1014). Lihat bahasan Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy Syatsri dalam Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, hal. 92-93.
Adapun bersedekah dengan harta yang berkaitan dengan hak orang lain (barang curian, misalnya), maka Ibnu Rajab membaginya menjadi dua macam,
1- Jika bersedekah atas nama pencuri, sedekah tersebut tidaklah diterima, bahkan ia berdosa karena telah memanfaatkannya. Pemilik sebenarnya pun tidak mendapatkan pahala karena tidak ada niatan dari dirinya. Demikian pendapat mayoritas ulama.
2- Jika bersedekah dengan harta haram tersebut atas nama pemilik sebenarnya ketika ia tidak mampu mengembalikan pada pemiliknya atau pun ahli warisnya, maka ketika itu dibolehkan oleh kebanyakan ulama di antaranya Imam Malik, Abu Hanifah dan Imam Ahmad. Lihat Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1: 264-268.